Selasa, 03 Februari 2015

Home » » [review] Life is STrange

[review] Life is STrange

By Pladidus Santoso
February 2, 2015   ·   
 
Life is Strange jagatplay (21)

Interactive Story memang bukanlah sebuah genre yang asing lagi di industri game. Walaupun popularitasnya sendiri terhitung baru memuncak ketika Telltale sukses melemparkan The Walking Dead ke pasaran, ia sebenarnya sudah ditawarkan oleh banyak developer dalam waktu yang cukup lama.  Salah satu yang secara konsisten meluncurkan produk serupa adalah Quantic Dreams lewat Fahrenheit, Heavy Rain, dan yang terakhir – Beyond: Two Souls. Berbeda dengan kebanyakan game lain yang berfokus pada sisi action, sesuai dengan namanya, game-game ini lebih menjual kekuatan cerita. Mekanisme kontrol sederhana disematkan untuk menawarkan pengalaman interaktif, yang seringkali dibalut dengan begitu banyak pilihan sulit dan kebebasan untuk membentuk arah cerita sendiri. Nilai jual yang unik,  memang.

Dengan popularitas yang begitu tinggi, tidak heran jika banyak developer lain yang berusaha untuk berkompetisi di pasar yang sama. Salah satu yang terbaru muncul dari Dontnod Entertainment – developer di belakang Remember Me yang kini bekerja sama dengan Square Enix untuk proyek interactive story pertama mereka – Life is Strange. Dan seperti proyek serupa lainnya, ia akan dirilis secara episodik, dimana setiap chapternya dijanjikan akan meluncur sebelum tahun 2015 ini selesai. Digembar-gemborkan akan hadir dengan sedikit elemen sci-fi di dalamnya, Dontnod tentu punya tugas yang cukup berat untuk membuktikan diri, apalagi mengingat Life is Strange adalah sebuah judul game baru.

Lantas, apa yang sebenarnya ditawarkan Life is Strange ini? Mengapa kami menyebutnya sebagai sebuah game yang berusaha tampil berbeda? Review ini akan membahasnya lebih dalam untuk Anda.

Plot

Max adalah remaja wanita berumur 18 tahun yang berusaha lebih banyak mengenai fotografi. Untuk itu, ia kembali ke kota asalnya - Arcadia Bay, meninggalkan keluarganya di Seattle.
Max adalah remaja wanita berumur 18 tahun yang berusaha lebih banyak mengenai fotografi. Untuk itu, ia kembali ke kota asalnya – Arcadia Bay, meninggalkan keluarganya di Seattle.
Hari ini adalah hari yang aneh bagi Max Caulfield – seorang remaja wanita berusia 18 tahun yang memutuskan untuk kembali ke kota asalnya – Arcadia Bay. Untuk mendapatkan pengetahuan fotografi yang lebih mendalam sesuai dengan passion-nya, Max berusaha menarik ilmu dari sang dosen ternama – Mr. Jefferson yang mengajar di Blackwell Academy. Namun usahanya untuk terus menaruh perhatian pada sesi kelas siang itu justru berujung pada pengalaman yang aneh. Ia tidak tertidur, namun pikirannya membawanya ke sebuah tanah asing yang begitu basah. Hujan badai raksasa dengan tornado air yang begitu masif terlihat di kejauhan. Apa yang sebenarnya terjadi? Ketika berusaha memahami hal tersebut, kesadaran Max melemparkannya kembali ke ruang kelas. Ia tetap sadar, tidak tertidur. Namun percaya atau tidak, mimpi buruk untuknya baru saja dimulai.

Bagi orang lain, ini mungkin jadi hari yang biasa. Namun bagi Max, ia adalah awal dari semua kegilaan yang harus ia pikul sendiri.
Bagi orang lain, ini mungkin jadi hari yang biasa. Namun bagi Max, ia adalah awal dari semua kegilaan yang harus ia pikul sendiri.
Masih dalam keadaan sadar, Max melihat sebuah tornado air raksasa dan badai besar yang ia hasilkan. Tanpa alasan yang jelas, ia kembali terlempar ke ruang kelas. Apa yang sebenarnya terjadi?
Masih dalam keadaan sadar, Max melihat sebuah tornado air raksasa dan badai besar yang ia hasilkan. Tanpa alasan yang jelas, ia kembali terlempar ke ruang kelas. Apa yang sebenarnya terjadi?
Berusaha menenangkan diri di kamar mandi, ia justru menjadi saksi kasus pembunuhan.
Berusaha menenangkan diri di kamar mandi, ia justru menjadi saksi kasus pembunuhan.
Berusaha untuk menenangkan diri di kamar mandi, Max justru menjadi saksi mata sebuah tindak kejahatan di sekolah yang tidak pernah diperkirakan sebelumnya. Dari sebuah perdebatan soal masalah pribadi, bunyi senjata tiba-tiba terdengar dan Max menemukan sesosok mayat wanita yang perlahan namun pasti, jatuh di lantai kamar mandi. Rasa panik, ketakutan, dan keinginan untuk membantu ternyata membangunkan kekuatan baru untuk Max. Ia tiba-tiba bangun kembali ke event beberapa puluh menit sebelumnya, terbangun kembali di dalam kelas yang sama, percakapan yang sama, dan kejadian yang sama. Max membalikkan waktu.

Keinginannya untuk membantu sang korban ternyata membangunkan kekuatan yang tidak pernah disangka Max. Ia mampu membalikkan waktu!
Keinginannya untuk membantu sang korban ternyata membangunkan kekuatan yang tidak pernah disangka Max. Ia mampu membalikkan waktu!
Kejadian tersebut justru mempertemukannya dengan sang teman masa kecil - Chloe.
Kejadian tersebut justru mempertemukannya dengan sang teman masa kecil – Chloe.
Dipicu dengan rasa bingung yang teramat sangat, misi utama Max saat ini hanyalah berusaha untuk menyelamatkan sang wanita di kamar mandi, entah bagaimana caranya. Mengulang event yang sama, pengetahuan Max soal apa yang akan terjadi membuka begitu banyak solusi. Ia pun berhasil menjadi seorang pahlawan. Sembari berusaha memahami kekuatannya dengan lebih dalam,  ia melewati hari dengan memaksimalkan kekuatannya tersebut. Hingga ia menemukan bahwa wanita yang ia selamatkan di kamar mandi tersebut teranyata adalah Chloe – teman masa kecilnya. Teman yang ia tinggalkan begitu saja tanpa kabar ketika berusaha mencari jati diri ke Seattle. Berusaha mengejar ketertinggalan hubungan persahabatan mereka, Max menemukan bahwa Chloe sekarang bukanlah teman kecil yang ia kenal dulu. Ia kini tumbuh menjadi wanita “liar” dengan masalah keluarga yang berat.

Dua misteri besar menghantui hidup Max. Pertama, hilangnya sang mahasiswi super populer - Rachel Amber yang misterius.
Dua misteri besar menghantui hidup Max. Pertama, hilangnya sang mahasiswi super populer – Rachel Amber yang misterius.
Kedua, sang tornado besar yang ia lihat via visinya.
Kedua, sang tornado besar yang ia lihat via visinya.
Selama perjalanannya inilah, Max berhadapan dengan misteri terbesar yang seolah berteriak untuk diselesaikan dengan menggunakan kekuatannya. Salah satu yang kentara adalah kasus hilangnya sang primadona kampus Blackwell – Rachel Amber yang misterius. Popularitas Rachel di Blackwell sendiri memang tidak perlu diragukan lagi, bahkan cukup untuk membuat Chloe bersahabat dekat dengannya. Oleh karena itu, menjadi sesuatu yang sangat aneh baginya untuk hilang tanpa jejak. Rasa penasaran Max membuatnya tergerak untuk mencari setiap clue yang ada. Misteri kedua yang tidak kalah besar adalah “mimpi” tornado besar yang ia lihat sebelum menemukan kekuatannya.

Apa yang sebenarnya tengah terjadi?
Apa yang sebenarnya tengah terjadi?
Lantas, apa yang sebenarnya yang terjadi dengan Rachel Amber? Visi seperti apa juga yang hendak diperlihatkan oleh  tornado besar ini? Mampukah Max menjalin kedekatan kembali dengan Chloe setelah apa yang sempat terjadi di masa lalu? Anda bisa menjawab semua pertanyaan tersebut dengan memainkan Life is Strange ini.

Mencoba Tampil Beda

Life is Strange sendiri menawarkan mekanik gameplay yang tidak banyak berbeda dengan game-game interactive story pada umumnya.
Life is Strange sendiri menawarkan mekanik gameplay yang tidak banyak berbeda dengan game-game interactive story pada umumnya.
Untuk Anda yang sudah familiar dengan genre interactive story, Anda tentu saja sudah mengerti kira-kira pengalaman seperti apa yang akan ditawarkan oleh Life is Strange. Dan seperti yang bisa diprediksi, anggapan Anda tidak melenceng jauh. Life is Strange masih mengikuti standar formula game-game interactive story lainnya seperti The Walking Dead dari Telltale, dimana Anda akan disuguhi beragam opsi dan kebebasan menentukan arah cerita yang perlahan namun pasti, akan ditawarkan kepada Anda dalam format episodik. Pilihan-pilihan yang Anda buat mungkin tidak akan terasa begitu signifikan di episode ini, namun punya potensi besar untuk menentukan pengalaman seperti apa yang akan Anda dapatkan di episode-episode selanjutnya.

Seperti biasa, Anda akan dihadapkan pada pilihan-pilihan dengan konsekuensi yang akan bertolak belakang satu sama lain.
Seperti biasa, Anda akan dihadapkan pada pilihan-pilihan dengan konsekuensi yang akan bertolak belakang satu sama lain.
Dunianya sendiri hadir "lebih terbuka", dimana Anda punya kebebasan untuk mengeksplorasinya atau tidak. Mencari informasi lebih banyak? Tentu. Atau ingin sekedar melanjutkan cerita utama tanpa berusaha mengenal NPC atau mencari objek apapun? Bisa saja.
Dunianya sendiri hadir “lebih terbuka”, dimana Anda punya kebebasan untuk mengeksplorasinya atau tidak. Mencari informasi lebih banyak? Tentu. Atau ingin sekedar melanjutkan cerita utama tanpa berusaha mengenal NPC atau mencari objek apapun? Bisa saja.
Namun daripada menyamakannya dengan proyek-proyek racikan Telltale, arah Life is Strange dari Dontnod Entertaiment ini justru lebih mengakar kuat pada proyek racikan Quantic Dreams seperti Heavy Rain atau Beyond: Two Souls. Apa pasal? Kesan lebih kuat ini muncul dari pendekatan dunia yang lebih terbuka di Life is Strange. Alih-alih bergerak dari satu cut-scene ke cut-scene lainnya dalam format yang sangat linear ala Telltale, Anda diberikan “taman bermain”  yang cukup luas di sini, dengan ekstra ruang gerak dan kebebasan untuk berinteraksi dengan varian objek yang lebih banyak. Dengan mekanisme seperti ini, pengetahuan dan pengalaman bermain Anda akan lebih ditentukan oleh seberapa teliti dan rajin Anda menggali informasi. Anda bisa saja bergerak dari satu titik cerita krusial, langsung ke titik cerita lain dengan mengabaikan para NPC yang perannya tidak signifikan atau objek-objek kunci yang tidak berhubungan langsung dengan jalannya cerita. Namun di saat yang sama, Anda baru saja melewatkan kesempatan untuk menggali sesuatu yang potensial untuk menjadi hal yang penting, mungkin tidak sekarang, tapi di episode-episode selanjutnya. Pilihan kini berada di tangan Anda.

Tinggal bergerak mendekat pada objek yang menarik perhatian Anda, maka interface untuk melakukan interaksi yang sederhana akan muncul.
Tinggal bergerak mendekat pada objek yang menarik perhatian Anda, maka interface untuk melakukan interaksi yang sederhana akan muncul.
Anda bisa mengintip atau tidak mengintip isi flash drive milik Warren. Memang efeknya tidak signifikan, namun kesempatan seperti ini layak diterima dengan tangan terbuka.
Anda bisa mengintip atau tidak mengintip isi flash drive milik Warren. Memang efeknya tidak signifikan, namun kesempatan seperti ini layak diterima dengan tangan terbuka.
Misalnya? Kesempatan untuk membuka isi folder USB milik teman baik Max – Warren. Anda bisa saja langsung menyerahkan flash drive ini kepada Warren di lapangan parkir dan memicu kelanjutan cerita, atau dengan “nakalnya” mengintip isinya terlebih dahulu via laptop yang terletak di kamar. Life is Strange menawarkan sedikit ekstra kebebasan seperti ini, walaupun tidak banyak berpengaruh pada hasil akhir yang ada. Sementara dari sisi mekanik gameplay, tidak ada yang banyak berbeda. Opsi untuk melakukan tindakan tertentu pada sebuah objek akan muncul begitu Anda berjalan mendekat. Dengan hanya menggerakkan mouse ke arah perintah yang muncul di layar (versi PC), Anda bisa memicu respon tersebut.

Lantas, apa yang membuat Life is Strange berbeda? Kemampuan memutarbalik waktu Max bukan sekedar gimmick. Ia juga bisa diterapkan di dalam gameplay.
Lantas, apa yang membuat Life is Strange berbeda? Kemampuan memutarbalik waktu Max bukan sekedar gimmick. Ia juga bisa diterapkan di dalam gameplay.
Hasilnya? Anda selalu punya opsi untuk mengevaluasi konsekuensi dari pilihan yang Anda ambil. Tidak suka? Anda bisa memutar waktu kembali, dan mengambil opsi lainnya. Tidak ada batasan.
Hasilnya? Anda selalu punya opsi untuk mengevaluasi konsekuensi dari pilihan yang Anda ambil. Tidak suka? Anda bisa memutar waktu kembali, dan mengambil opsi lainnya. Tidak ada batasan.
Lantas, apa yang membuat Life is Strange berbeda? Jawabannya terletak pada kemampuan unik milik Max – membalikkan waktu. Tidak hanya ditawarkan sekedar sebagai gimmick cerita, Dontnod ternyata mampu mengimplementasikan hal tersebut ke dalam gameplay. Dengan satu tombol sederhana saja, Anda bisa membuat Max kembali ke waktu sebelumnya, dengan animasi yang tampil elegan dan tidak berlebihan. Inti dari kemampuan ini seperti memberikan kesempatan kedua bagi Anda untuk mengevaluasi konsekuensi dari setiap pilihan yang bisa diambil, dan tidak lebih. Seperti yang kita tahu, game-game seperti ini memang seringkali membuat Anda harus memilih satu di antara dua pilihan dengan kubu yang saling bertolak belakang. Life is Strange meminimalisir “resiko” yang mungkin muncul dari desain seperti ini. Bingung menentukan? Pilih saja satu, lihat konsekuensinya. Jika suka, bertahan. Jika tidak, Anda bisa memutar waktu kembali sebelum pilihan tersebut muncul, dan memilih opsi satunya lagi. Lebih suka yang satu ini? Tinggal bertahan, dan voila, semua masalah teratasi.

Secara garis besar, kemampuan Max seperti ini memang menawarkan cita rasa konsep interactive story yang berbeda. Setidaknya, ia tidak terperangkap pada konsep sesederhana Heavy Rain atau The Walking Dead dari Telltale, misalnya, sekaligus memberikan atmosfer misteri yang lebih kentara. Ia juga mengecilkan keharusan untuk mengulang game dari data save terakhir, jika Anda tidak cukup puas dengan apa yang Anda temukan dari semua pilihan yang ada. Namun sayangnya, sistem seperti ini tampil tak ubahnya pedang bermata dua. Bagi Anda yang senang dengan game seperti ini, resiko adalah elemen yang membuat segala sesuatunya tampil lebih menarik. Bahwa Anda dipaksa untuk menerima konsekuensi yang sudah Anda picu sendiri, baik sekarang ataupun di episode-episode setelahnya. Ada rasa penasaran bagaimana pilihan Anda akan berujung. Kemampuan mengendalikan waktu dari Max seolah menihilkan daya tarik yang satu ini.

Sayangnya, seperti sebuah pedang bermata dua, ia menghilangkan elemen resiko yang seharusnya jadi kekuatan game bergenre seperti ini.
Sayangnya, seperti sebuah pedang bermata dua, ia menghilangkan elemen resiko yang seharusnya jadi kekuatan game bergenre seperti ini.
Daya tariknya justru ada saat kekuatan ini digunakan untuk hal-hal kecil yang tidak berhubungan langsung dengan cerita utama.
Daya tariknya justru ada saat kekuatan ini digunakan untuk hal-hal kecil yang tidak berhubungan langsung dengan cerita utama.
Bagian terbaiknya justru ketika Anda dipaksa menggunakan kemampuan mengendalikan waktu ini untuk “memecahkan” persoalan yang tidak berhubungan langsung dengan cerita utama yang ada. Event-event kecil yang seolah hadir untuk menguji penguasaan Anda pada mekanik baru yang satu ini. Sebagai contoh? Ketika Anda berada di rumah Chloe, misalnya. Ketika memasuki salah satu ruangan, Anda akan melihat seekor burung yang terbang menabrak jendela dan mati seketika. Event ini sendiri sangat terselubung, mudah terlewatkan, dan tidak punya signifikansi apapun dalam cerita. Namun jika hati nurani Anda tergerak, Anda sebenarnya bisa menyelamatkan burung ini dengan membuka jendela terlebih dahulu sebelum burung tersebut melaju. Pertanyaannya kini, seberapa sadar bahwa Anda bisa melakukan hal tersebut? Life is Strange tampil memukau di hal-hal seperti ini, termasuk ketika Anda punya opsi untuk memutarbalikkan waktu untuk membuka lebih banyak opsi percakapan.

Terlalu “Remaja”

Entah kami yang sudah terlalu tua, atau tema utama Life is Strange ini terasa terlalu remaja.
Entah kami yang sudah terlalu tua, atau tema utama Life is Strange ini terasa terlalu remaja.
Terlalu remaja? Bukan, kita tidak tengah membicarakan
ukuran dadausia sang karakter utama – Max yang terlihat begitu belia. Jika ada satu pertanyaan menggelitik yang sempat masuk ke benak kami ketika memainkan Life is Strange ini, maka “Apakah saya sudah terlalu tua?”, tampaknya jadi pertanyaan yang terus berulang-ulang di hati. Mengapa? Karena untuk begitu banyak game-game interactive story yang beredar di pasaran, Life is Strange mengusung karakter dimana kami pribadi merasa, untuk pertama kalinya, tidak bisa membangun keterikatan emosional sama sekali. Apakah kami yang sudah terlalu tua, atau memang Life is Strange mengusung setting dan tema remaja yang terlalu kentara. Seperti sebuah film Hollywood yang mati-matian membuat remajanya terlihat super keren.

Sulit membangun keterikatan emosional yang kuat. Konflik yang ada terasa tidak cukup kuat.
Sulit membangun keterikatan emosional yang kuat. Konflik yang ada terasa tidak cukup kuat.
"2edgy4me". Satunya berusaha tampil hipster dengan kamera polaroidnya, satunya lagi tipikal remaja "keren" dan pemberontak yang hendak melawan dunia. Huh..
“2edgy4me”. Satunya berusaha tampil hipster dengan kamera polaroidnya, satunya lagi tipikal remaja “keren” dan pemberontak yang hendak melawan dunia. Huh..
Ketika Ellie di The Last of Us harus belajar membunuh, Elizabeth di Bioshock Infinite belajar soal pengorbanan, atau Clemetine di The Walking Dead hadir sebagai anak-anak yang berhadapan dengan banyak pilihan sulit, Max justru terasa seperti remaja haus perhatian. Ia seorang mahasiswa fotografi yang senang dengan fotografi klasik menggunakan kamera polaroid, di tengah teman-temannya yang sudah beralih digital. Sementara Chloe adalah remaja wanita tatoan yang dikesankan “pemberontak” terhadap nilai-nilai sosial, dengan rokok ganja untuk menghabiskan waktu. Keduanya mati-matian berusaha tampil berbeda di lingkungan pergaulannya sendiri, dengan kesan hipster yang mengalir kuat. Dengan remaja wanita lain yang jadi bully, anak laki-laki kaya yang punya kecenderungan kesehatan mental yang tidak stabil, serta seorang teman pendiam, Anda seperti berhadapan dengan setting film remaja yang sudah usang.

Wohoooo.. we are too cool,  bro!!
Wohoooo.. we are too cool, bro!!
Jadi, apakah kami yang sudah terlalu tua? Mungkin saja. Namun sejauh ini, Life is Strange seolah gagal menawarkan sebuah kesan bahwa Anda memang berhadapan dengan sebuah konflik besar yang benar-benar menyita emosi. Apakah hal ini akan diperbaiki di episode-episode selanjutnya? Ketika lebih banyak misteri terbuka? Besar harapan kami. Karena sejauh ini, karakter-karakter yang ditawarkan Life is Strange adalah mereka yang mengusung tipikal yang cocok untuk dijadikan lelucon internet “2edgy4me”. Ain’t we cool, bro?

Visual yang Ciamik

Kualitas visual yang cukup pantas diacungi jempol.
Kualitas visual yang cukup pantas diacungi jempol.
Untuk urusan visual, setelah harus berhadapan dengan standar cell-shading ala Telltale yang mulai terlihat usang, Life is Strange hadir dengan standar yang cukup memanjakan mata. Ia memang tidak hadir dengan model tiga dimensi realistis ala Beyond: Two Souls, namun keunikan kualitas visual yang mencitrakan sebuah gambar di atas kanvas bisa diterima dengan tangan yang sangat terbuka. Detail wajah karakter, setidaknya untuk Max dan Chloe terlihat cukup detail. Setidaknya cukup untuk memproyeksikan detail emosi yang ada di setiap percakapan, walaupun harus diakui, gerak bibirnya ketika berbicara sendiri tidak sempurna. Max dan Chloe terlihat cukup ekspresif.

Walaupun terasa "kartun", namun detail wajah para karakter utama terlihat cukup ekspresif.
Walaupun terasa “kartun”, namun detail wajah para karakter utama terlihat cukup ekspresif.
Kualitas tata cahaya yang pantas diacungi jempol.
Kualitas tata cahaya yang cukup menawan untuk standar sebuah game interactive story.
Namun dari elemen yang ia jual, presentasi tata cahayanya lah yang pantas untuk diacungi jempol. Memang ia belum masuk ke dalam standar game-game generasi terbaru saat ini, namun Anda akan menemukan sebuah pengalaman visual yang cukup memanjakan mata. Setting universitas Blackwell-nya hadir dengan permainan warna kontras yang begitu cerah, dengan tekstur ala lukisan yang cukup menawan. Desain karakter di luar karakter utama juga cukup baik, walaupun harus diakui, berada di level detail yang berbeda.

Kesimpulan

Life is Strange jagatplay (167)
, Life is Strange tetaplah sebuah proyek yang pantas untuk dilirik, setidaknya untuk memuaskan rasa penasaran jika Anda termasuk gamer yang senang dengan proyek kreatif yang menjadikan cerita sebagai kekuatan utama. Menarik untuk melihat bagaimana konsep membalikkan waktu, yang tampil keren di masa Prince of Persia dahulu, diterapkan di sebuah game yang berfokus hanya pada QTE dan pilihan saja.

Untuk sebuah judul baru yang diangkat ke pasaran, Life is Strange berhasil menawarkan impresi pertama yang terhitung baik. Debut pertama Dontnod Entertainment ke ranah interactive story ini hadir dengan nilai jual yang cukup menggoda, di luar kualitas visualnya yang lebih modern dibandingkan versi Telltale yang kian terlihat usang, tentu saja. Menawarkan sebuah dunia yang terbuka sebagai “taman bermain”, lengkap dengan begitu banyak objek yang bisa dijadikan sebagai bahan untuk interaksi, setting Life is Strange terasa kaya dan penuh potensi. Keunikan muncul dari kemampuan Max untuk membalikkan waktu, yang ternyata tidak hanya muncul sebagai gimmick dalam cerita, namun bisa digunakan di dalam mekanik gameplaynya sendiri. Memilih dan mengevaluasi konsekuensi yang bisa muncul serta memutuskan untuk terus bertahan atau memilih ulang menawarkan pengalaman interactive story yang berbeda.

Namun sayangnya, mekanik seperti ini tampil tak ubahnya pedang bermata dua. Kemampuan untuk mengevaluasi pilihan dan memilih kembali menihilkan daya tarik yang membuat sebuah game interactive story menarik – resiko. Ia otomatis membuat konflik moral yang selalu muncul tiap kali pilihan dua kubu seperti ini muncul tidak lagi terasa relevan. Kekurangan lain yang pantas untuk dicatat adalah setting dan karakter yang terasa terlalu remaja. Para karakter ini terasa begitu klise dan tipikal, seperti layaknya remaja-remaja di film Hollywood yang berusaha mati-matian untuk tampil keren di depan teman-temannya. Hasilnya? Konflik yang muncul terasa tidak sekuat yang dibayangkan.

Walaupun demikian, Life is Strange tetaplah sebuah proyek yang pantas untuk dilirik, setidaknya untuk memuaskan rasa penasaran jika Anda termasuk gamer yang senang dengan proyek kreatif yang menjadikan cerita sebagai kekuatan utama. Menarik untuk melihat bagaimana konsep membalikkan waktu, yang tampil keren di masa Prince of Persia dahulu, diterapkan di sebuah game yang berfokus hanya pada QTE dan pilihan saja.

Kelebihan

Hehehehe...
Hehehehe…
  • Kualitas visual yang ciamik
  • Kemampuan untuk membalikkan waktu di dalam gameplay
  • Easter eggs
  • Dunia yang lebih terbuka
  • Soundtrack yang keren

Kekurangan

So cool, bro..
So cool, bro..
  • Karakter remaja yang terlalu klise
  • Elemen resiko yang berkurang
  • Konflik utama yang belum terasa kuat
Cocok untuk gamer: yang senang dengan game yang berfokus pada cerita, pecinta The Walking Dead atau Heavy Rain

Tidak cocok untuk gamer: yang mengharapkan lebih banyak aksi, kemampuan bahasa Inggris di bawah rata-rata




 

0 komentar :

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | free samples without surveys