»
[review] Metro Last Light
By Pladidus Santoso
May 30, 2013 ·
Sebuah dunia yang tidak mampu lagi dihuni karena kesalahan manusia
tampaknya menjadi skenario paling masuk akal bagaimana hidup manusia
sebagai sebuah ras akan berakhir. Beragam judul dari industri hiburan
juga seringkali menjadikanya sebagai jalur cerita utama yang didesain
sedemikian rupa, termasuk industri game. Untuk urusan yang terakhir ini,
franchise Metro dari 4A Games boleh terbilang lahir sebagai yang paling
memesona. Tidak hanya membangun akar yang kuat di sisi cerita, langkah
awal yang dimulai dari Metro 2033 ini juga diakui sebagai salah satu
game dengan kualitas visualisasi terbaik, bahkan sempat menaklukkan
PC-PC terkuat di masanya kala itu. Antispasi terhadap seri terbarunya –
Metro: Last Light kian menguat.
Luar biasa, ini tampaknya menjadi kata yang paling tepat untuk
menggambarkan kesan pertama yang ditawarkan oleh seri teranyar yang satu
ini. Anda yang sempat membaca preview kami sebelumnya tentu saja sudah
sempat mendapatkan sedikit gambaran tentang apa yang kami bicarakan.
Salah satu nilai jual utama yang tidak terbantahkan tentu saja kualitas
grafis yang bahkan membuat rig terkuat kami berteriak kesakitan. Namun
Metro: Last Light menawarkan lebih banyak pesona daripada sekedar
visualisasi mumpuni. Ada beragam pesona lainnya yang
Lantas, apa yang sebenarnya ditawarka oleh Metro: Last Light ini? Apa
yang membuat kami menyebutnya sebagai sebuah dunia post-apocalyptic
yang luar biasa?
Plot
|
Pertempuran
terakhir di Metro 2033 memang telah “memusnahkan” The Dark Ones, namun
tidak lantas memberikan kedamaian abadi bagi sang karakter utama –
Artyom |
Perselisihan melawan para The Dark Ones yang dilihat sebagai ancaman
terbesar di Metro 2033 memang mencapai sebuah kesimpulan akhir yang
destruktif. Serangan misil yang dilakukan dianggap telah berhasil
menghancurkan semua makhluk misterius yang satu ini, sekaligus
mengembalikan sedikit kedamaian untuk kehidupan sang karakter utama –
Artyom. Sebuah nafas lega yang tidak berlangsung lama.
Hadir sebuah sekuel langsung, Metro: Last Light bersettingkan satu
tahun setelah event terakhir di 2033. Artyom, yang kini bergabung di
dalam The Rangers dan hidup di dalam fasilitas militer penting – D6,
masih terus dihantui oleh mimpi The Dark Ones, yang kini seolah berupaya
menyampaikan sesuatu untuknya. Tapi bukankah eksisteksi makhluk aneh
yang satu ini sudah berakhir? Setidaknya tidak di mata Khan. Berbeda
dengan pendapat yang lain, Khan yang percaya masih ada satu Dark One
yang masih selamat justru melihat ras ini sebagai masa depan, dan
bukannya ancaman. Usaha untuk mencari dan menyelamatkan satu-satunya
Dark One yang tersisa ini tentu saja ditolak oleh pihak militer. Artyom
pun ditugaskan untuk memburu yang selamat ini.
|
Berbeda
dengan persepsi umum yang ada, Khan justru meyakini The Dark Ones
sebagai kunci bagi masa depan manusia. Lewat satu Dark One yang ia
yakini selamat, usaha untuk mencari jawaban pun dimulai. |
|
Namun
sebuah misi pembunuhan sederhana menjadi lubang yang lebih kompleks
bagi Artyom. Tidak hanya tertangkap oleh Nazi Reich, ia juga masuk dalam
pusaran kudeta yang berusaha dilakukan tentara Russia. |
|
Satu-satunya The Dark One kecil yang masih selamat. Apa yang sebenarnya berusaha ia capai dengan membantu Artyom? |
Namun siapa yang menyangka, bahwa The Dark One yang selama ini
ternyata bukan yang selama ia prediksikan. Masih kecil dan terlihat
tidak berbahaya, Artyom justru terjebak dalam perang melawan para
pasukan Nazi dan masuk ke dalam konspirasi kudeta yang tengah
dilancarkan oleh salah satu petinggi Russia sendiri. Mempelajari usaha
salah satu Jenderal tentara merah – Korbut yang berusaha menguasai
fasilitas militer D6 dan mengendalikan Metro, Artyom mengemban tanggung
jawab yang lebih besar. Anehnya lagi? The Dark One kecil yang berhasil
selamat ini justru menjadi comrade setia yang membantunya mengatasi para
pasukan dan mutant yang tidak segan menghabisi nyawa Artyom dengan
sekejap.
|
Gelap, misterius, dan menyeramkan – Artyom akan terlibat dalam petualangan yang jauh lebih gila dibandingkan 2033. |
Lantas, mampukah Artyom mencegah kudeta dan rencana buruk yang tengah
dilancarkan oleh Korbut ini? Apa yang sebenarnya yang dicari oleh The
Dark One kecil ini? Misteri apa yang sebenarnya tersimpan di dalam D6?
Mampukah Metro selamat dari konflik yang satu ini? Semua jawaban dari
pertanyaan ini akan dapat Anda temukan dengan memainkan Metro: Last
Light ini.
Bertahan Hidup di Dunia Post-Apocalyptic yang Memesona!
Mempertahankan akarnya sebagai sebuah game FPS, hampir tidak ada
inovasi yang bisa diperhatikan dari Metro: Last Light dari sisi mekanik
gameplay yang ditawarkan. Anda hanya harus bergerak dari satu titik ke
titik lainnya, sembari berusaha bertahan hidup. Tidak ada kewajiban
untuk melakukan konfrontasi secara langsung dengan semua ancaman yang
berada di depan mata, terutama ketika berhadapan dengan manusia
bersenjata. Anda bisa melakukan infiltrasi dan bergerak menuju ke tempat
tujuan tanpa harus membunuh siapapun, atau memilih bermain secara
stealth – sekedar melumpuhkan atau menghabisi nyawa mereka. Perang
secara terbuka memang memacu adrenalin, namun menghasilkan resiko yang
lebih besar, apalagi mengingat jumlah peluru yang terbatas.
Tidak hanya berhadapan dengan pasukan Red Line maupun Nazi yang
memburu Anda untuk agenda masing-masing mereka, Anda juga tetap harus
bertempur melawan serangkaian makhluk mutasi yang menghinggapi dunia
luar yang berbahaya. Berbeda dengan manusia yang mampu menyerang Anda
dari jarak jauh, sebagian besar makhluk ini akan memberikan tantangan
lewat serangan jarak dekat, dan tentu saja lewat kuantitas mereka yang
masif. Lebih mampu menghadirkan tekanan psikologis karena panik,
ketenangan dan beberapa peluru shotgun akan membantu Anda akan menjadi
jawaban terbaik. Metro: Last Light juga menyuntikkan beberapa “boss
fight” untuk kian memuaskan suasana.
|
Daripada
memulai konfrontasi secara terbuka, gaya permainan stealth untuk
sekedar melakukan infiltrasi atau menundukkan setiap ancaman yang ada
menjadi gaya bermain yang lebih dapat diandalkan. |
|
Dengan
dunia luar yang dipenuhi debu dan radiasi nuklir, Artyom harus
mengenakan masker gas untuk dapat bertahan hidup. Mengumpulkan filter
dan mencari penggantinya ketika mulai rusak menjadi kebutuhan krusial. |
|
Anda juga akan terlibat dalam berbagai boss fight yang menantang. |
Namun bagian terbaik dari Metro: Last Light adalah konsistensi 4A
Games untuk menjadikan kondisi dunia post-apocalyptic ini serealistis
mungkin. Tidak hanya sekedar dibekali senjata, Anda juga akan dibekali
dengan beberapa perangkat dasar untuk bertahan hidup, dari sebuah
lighter berbentuk peluru, kompas dan peta, hingga topeng gas yang
memainkan perang paling krusial. Dengan debu nuklir dan radiasi yang
masih mengotori dunia luar, Anda memang harus bergantung pada topeng
yang satu ini untuk dapat bertahan hidup. Lewat sebuah jam real-time
yang tertera di pergelangan tangan kiri Anda, Anda bisa melihat berapa
banyak waktu yang disediakan oleh filter masker Anda. Habis dan tanpa
pengganti, maka Anda akan tewas karena sesak napas. Tidak hanya filter,
setiap masker gas ini juga memiliki daya tahan tertentu. Rusak karena
seringkali diserang juga akan menghasilkan efek yang sama.
Jika ada satu kalimat yang bisa menggambarkan masyarakat yang
terbentuk dari franchise Metro selama ini, maka “obsesi terhadap peluru”
mungkin menjadi kata yang paling tepat. Tidak hanya lighter Anda yang
berbentuk peluru, keterbatasan sumber daya yang satu ini juga memaksa
Anda untuk menjalani pertempuran terbuka dengan jauh lebih efektif.
Bagian terbaiknya? Peluru-peluru ini bahkan diposisikan sebagai mata
uang di dunia Metro: Last Light. Peluru berkualitas tinggi yang langka
ini akan menjadi daya tarik transaksi, tidak hanya ketika Anda membeli
item-item untuk bertahan hidup, atau sekedar peluru, tetapi juga
melakukan modifikasi untuk memperkuat senjata-senjata utama yang tengah
Anda bawa.
|
Dengan
menjadi peluru kualitas tinggi sebagai mata uang, Anda tidak hanya bisa
berbelanja item-item untuk bertahan hidup, tetapi juga memperkuat
senjata Anda dengan segudang upgrade yang ada. |
|
A 4-barrels shotgun? Eat that! |
|
Konflik
perang melawan para mutant dan pasukan bersenjata tentu saja menjadi
bumbu super manis untuk menikmati game yang satu ini. Anda akan dibawa
untuk terlibat dalam sebuah dunia penuh kehancuran yang memesona. |
Berbeda dengan sebagian besar game bertema sama yang mungkin
merepresentasikan dunia post-apocalyptic dari sekedar desain lingkungan
yang ditawarkan, Metro: Last Light mengintegrasikannya ke dalam sisi
gameplay – terutama lewat mekanisme topeng gas dan peluru sebagai mata
uang yang berharga. Konflik perang melawan para mutant dan pasukan
bersenjata tentu saja menjadi bumbu super manis untuk menikmati game
yang satu ini. Anda akan dibawa untuk terlibat dalam sebuah dunia penuh
kehancuran yang memesona.
Sistem Moralitas yang Tersembunyi
|
Salah
satu fitur Metro Last Light yang paling menarik? Fakta bahwa game yang
satu ini ternyata memuat sistem moralitas yang tersembunyi. |
Kesempatan untuk tumbuh bersama dengan karakter utama memang akan
membantu gamer membangun keterikatan emosional dengan game yang mereka
mainkan, sebuah konsep yang memang tidak asing lagi di industri game.
Beberapa game RPG Barat bahkan secara terang-terangan memberikan
kebebasan untuk menentukan moralitas sang karakter utama lewat
serangkaian pilihan dan konskuensi yang ada. Sebuah konsep yang juga
ternyata diterapkan oleh 4A Games secara “tersembunyi” di dalam Metro:
Last Light yang satu ini. Sebuah “rahasia” yang mungkin tidak diketahui
oleh sebagian besar gamer yang bahkan sudah menyelesaikannya dalam waktu
singkat
.
Terselubung sempurna dalam keseluruhan gameplay yang Anda mainkan, 4A
Games memang tidak secara jelas memperlihatkan opsi dan misi apa saja
yang akan mempengaruhi tingkat moralitas dari karakter Arytom yang
tengah Anda gunakan. Diintegrasikan dalam gameplay dengan begitu
tersembunyi, beberapa dari aksi dan misi ini bahkan tidak terlihat
signifikan. Ia bahkan tidak memuat indikator jelas untuk mengindakasikan
apapun. Anda mungkin akan secara tidak sengaja bertemu dengan NPC yang
tengah tertangkap dan menyelamatkannya, atau mengembalikan sebuah boneka
beruang untuk anak kecil, atau sekedar meaminkan sebuah alat musik.
Namun siapa yang menyangka bahwa semua tindakan ini ternyata memiliki
konsekuensi moralitas tersendiri.
|
Terintegrasi
secara sempurna dan tersembunyi di dalam gameplay, hal-hal kecil yang
Anda lakukan di sepanjang permainan akan menentukan seberapa baik moral
sosok Artyom sendiri. Hal kecil seperti apa? Menembak pergi pemangsa
yang tengah mengerubungi “makanan” seperti gambar ini, contohnya. |
|
Lantas
apa konsekuensi dari sistem moral ini? Percaya atau tidak, Last Light
memiliki dua ending berbeda – good dan bad. Mereka yang tidak berhasil
meraih moralitas yang baik lewat quest dan pengambilan keputusan yang
ada akan mendapatkan ending buruk, dan begitu juga sebaliknya. |
Ada beberapa misi kecil, acak, dan tindakan yang akan membentuk
Arytom ke arah sisi moral yang baik, termasuk menginfiltrasi beberapa
misi tanpa membunuh siapapun atau apapun, mendengarkan cerita NPC yang
ada, hingga memberikan peluru berharga Anda untuk pengemis di salah satu
kota. Lantas konsekuensi apa yang membuat semua “side quest” yang satu
ini menarik untuk dikejar? Fakta bahwa Metro Last Light ternyata
memiliki dua ending yang berbeda. Mengacuhkan sebagian besar misi ini,
maka Anda kemungkinkan besar akan mendapatkan bad ending untuk Metro:
Last Light. Berhasil menyelesaikan sebagian besar darinya, maka Anda
akan mendapatkan akhir cerita dari pertempuran post-apocalyptic ini yang
sebenarnya.
Why You Should Play it On PC?
|
Dengan
kualitas visualisasi yang ia tawarkan, cara terbaik untuk menikmati
Metro Last Light dengan maksimal = memainkannya di rig PC terkuat Anda. |
|
Look at that details! |
Walaupun dirilis secara multiplatform, termasuk untuk dua konsol
generasi saat ini – Xbox 360 dan Playstation 3, Metro: Last Light memang
didesain dan dibangun untuk dimainkan di platform yang jauh lebih kuat –
PC. Untuk sebuah game yang bahkan mampu membuat GeForce GTX Titan untuk
kelimpungan memainkannya di setting paling maksimal dan framerate
paling nyaman, kualitas visualisasi yang ditawarkan oleh game yang satu
ini memang menjadi salah satu nilai jual yang terlalu sayang untuk
dilewatkan. Memainkannya di Xbox 360 dan Playstation 3? Anda baru saja
melewatkan kesempatan untuk menikmati game FPS action dengan kualitas
grafis terbaik di pasaran saat ini, selain kenyamanan FPS yang tentu
saja lebih nyaman dimainkan dengan menggunakan keyboard dan mouse.
Kesimpulan
|
Metro:
Last Light berhasil memperlihatkan sebuah daya tarik yang memesona,
setidaknya mampu melanjutkan obor perjuangan seri sebelumnya – Metro
2033, tidak hanya sebagai game dengan tingkat visualisasi terbaik saat
dirilis, tetapi juga salah satu representasi dunia post-apocalyptic yang
memesona dan menggugah |
Sebuah keindahan dalam sebuah dunia yang hancur dan hening, ini
mungkin menjadi kesan pertama yang Anda dapatkan dari Metro: Last Light
ini. 4A Engine yang diusung mampu memfasilitasi kebutuhan 4A Game s
untuk membangun setting post-apocalyptic yang benar-benar memanjakan
mata, tidak hanya di tingkat detail, tetapi juga dari desainnya sendiri.
Penuh puing dan gelimpangan mayat, setiap area yang Anda jelajahi
seolah memuat memori uniknya masing-masing. Fakta bahwa kehancuran ini
dapat diintegrasikan di sisi gameplay yang menjadikan masker gas dan
peluru sebagai sumber daya yang krusial juga menjadi point plus yang
pantas untuk diacungi jempol. Walaupun tidak ada inovasi berarti di sisi
gameplaynya sebagai sebuah game FPS, selain tentu saja senjata-senjata
unik yang menarik, kebebasan dan kecenderungan untuk menempuh jalur
bermain stealth di beberapa level menghadirkan juga menawarkan daya
tarik tersendiri.
Lantas apakah ini berarti Metro Last Light hadir tanpa kelemahan?
Sayangnya ada beberapa kekurangan yang pantas untuk dicatat. Terlepas
dari visualisasinya yang memesona, animasi gerak dan voice acts yang
ditawarkan terdengar tidak sepadan dan kaku. Apalagi ketika Anda
mendengar suara Arytom di setiap pergantian chapter yang ada. Kelemahan
fatal kedua? Fakta bahwa 4A Games menjadikan Ranger Mode – tingkat
kesulitan Metro Last Light sebagai sebuah DLC terpisah yang tidak bisa
didapatkan dengan cara apapun selain membelinya secara langsung juga
menjadi pukulan telak. Ekstra uang untuk sebuah tingkat kesulitan baru?
Bukan rencana bisnis yang cerdas.
Namun terlepas dari kekurangan ini, Metro: Last Light berhasil
memperlihatkan sebuah daya tarik yang memesona, setidaknya mampu
melanjutkan obor perjuangan seri sebelumnya – Metro 2033, tidak hanya
sebagai game dengan tingkat visualisasi terbaik saat dirilis, tetapi
juga salah satu representasi dunia post-apocalyptic yang memesona dan
menggugah. Absolutely, worth to play!
Kelebihan
|
Dunia post-apocalyptic yang begitu memanjakan mata. |
- Visualisasi yang luar biasa
- Dunia post-apocalyptic yang berpengaruh pada sisi eksplorasi
- Desain beberapa senjata yang unik
- Sistem moralitas yang terintegrasi
- Multiple ending
- Plot yang keren
Kekurangan
|
Sayangnya hal ini tidak dipadu-padankan dengan kualitas animasi gerakan dan voice acts yang kuat. |
- Animasi karakter yang terasa kaku
- Voice Acts yang kurang kuat
- Ranger Mode yang hadir sebagai DLC
Cocok untuk gamer: yang sudah memainkan Metro 2033 sebelumnya, yang membutuhkan game FPS berkualitas, yang memiliki PC kuat yang butuh tantangan
Tidak cocok untuk gamer: yang butuh game FPS dengan dramatisasi epik, yang butuh mode ekstra untuk ekstra tantangan
sumber : http://jagatplay.com/2013/05/pc-2/review-metro-last-light-konflik-post-apocalyptic-yang-memesona/
0 komentar :
Posting Komentar