»
[review] The Evil Within
By Pladidus Santoso
October 27, 2014 ·
Sebuah ironi memang melihat sebuah franchise yang di masa lalu,
disebut-sebut sebagai akar popularitas genre survival horror justru
berkembang menjadi sebuah game yang lebih pantas disebut sebagai game
action. Benar sekali, kita tengah membicarakan Resident Evil. Tidak
mengherankan jika kondisi seperti ini akhirnya mendorong sang otak di
balik franchise ini – Shinji Mikami yang sudah hengkang dari Capcom
untuk melemparkan reaksi keras. Tidak dalam bentuk umpatan atau
pernyataan tertulis, tetapi lewat sebuah karya lain yang begitu
diantisipasi – The Evil Within. Bersama dengan studio barunya – Tango
Gameworks dan bernaung di bawah bendera Bethesda, Mikami ingin
mengembalikan identitas genre survival horror itu sendiri.
Anda yang sempat membaca preview kami sebelumnya tentu saja sudah
punya sedikit gambaran akan apa yang ditawarkan The Evil Within ini.
Berangkat dari rasa paranoia bahwa kami mungkin tidak akan cukup berani
untuk menikmati game yang satu ini, The Evil Within ternyata tidak
semenyeramkan yang kami bayangkan, apalagi jika dibandingkan dengan
game-game horror yang tidak memungkinkan Anda untuk melakuan perlawanan
seperti Oulast atau P.T. Resource yang terbatas memang senantiasa
membuat Anda merasa berada di ujung tanduk, namun tidak lantas “merebut”
sensasi kontrol atas nasib Anda sendiri. Jika Mikami ingin menciptakan
sebuah game yang benar-benar mengusung genre survival horror, maka
impresi pertama yang ia tawarkan pantas menyandang predikat tersebut
Lantas, apa yang sebenarnya ditawarkan oleh The Evil Within ini?
Mengapa kami menyebutnya sebagai sebuah kenikmatan survival horror
klasik? Review ini akan membahasnya lebih dalam untuk Anda.
Plot
|
Anda berperan sebagai seorang detektif kawakan bernama Sebastian “Seb” Castellanos. |
Darah, kematian, dan kasus pembantaian besar-besaran di Rumah Sakit
Jiwa Beacon di kota Krimson akhirnya mendorong detektif handal,
sekaligus sang tokoh protagonis utama – Sebastian “Seb” Castellanos
untuk keluar dari “sarang”-nya. Bersama dengan dua orang partner
utamanya – Joseph dan Julie, Seb menemukan kondisi rumah sakit jiwa yang
penuh dengan mayat dan darah, yang tidak bisa dijelaskan secara
rasional. Investigasi ringan yang ia lakukan mempertemukan Seb dengan
sosok karakter misterius dengan wajah yang mulai hancur lewat kamera
keamanan. Tidak hanya sosoknya yang mengancam, karakter ini juga
bergerak tidak seperti manusia biasanya. Cepat, mematikan, bahkan Seb
yang terhitung veteran tak punya kesempatan untuk melakukan apapun. Si
karakter misterius ini membuat Seb jatuh pingsan.
|
Menyelidiki
kasus pembantaian di rumah sakit Beacon, Seb berhadapan dengan mimpi
buruk yang tidak pernah ia perkirakan sebelumnya. |
|
Sosok pria misterius berjubah putih yang akhirnya diketahu bernama Ruvik ini ditengarai sebagai tersangka utama. |
Tidak sadarkan diri untuk waktu yang cukup lama, Seb terbangun dengan
kondisi yang bahkan lebih absurd dibandingkan sebelumnya. Ia
terperangkap di sebuah ruangan menyeramkan yang berisikan sosok raksasa
kanibal yang tengah memotong-motong tubuh tanpa ampun. Bergerak
sembunyi-sembunyi sembari berusaha memastikan diri selamat, Seb ternyata
harus berhadapan dengan para monster yang siap untuk menghabisi
nyawanya – The Haunted. Di tengah perjalanan inilah, Seb menemukan fakta
bahwa ia ternyata bukanlah satu-satunya orang yang selamat dari mimpi
buruk ini. Ia juga bertemu dengan seorang dokter dari rumah sakit yang
sama – Marcelo Jimenez yang tengah berusaha mencari sang pasien penting
bernama Leslie Withers. Berhasil keluar dari rumah sakit ini, ia bahkan
berhadapan dengan kejadian yang lebih mengejutkan.
|
Tak sadarkan diri karena serangan Ruvik, Seb menemukan dirinya terdampar di rumah jagal yang berisikan potongan tubuh manusia. |
|
Berusaha
melarikan diri bersama dengan dua orang rekannya – Julie dan Joseph,
serta seorang dokter bernama Martinez dan pasiennya – Leslie, Seb
terjebak dalam kekacauan skala masif. |
|
Kemarahan Ruvik membuat kota Krimson luluh lantak. |
Kemarahan sang karakter berjubah putih misterius yang akhirnya lebih
dikenal dengan nama Ruvik ternyata bukanlah sekedar amuk biasa. Ruvik
berhasil membuat kota Krimson hancur berantakan, dengan gedung-gedung
tinggi yang saling menimpa satu sama lain, dengan jalan yang luluh
lantak tidak terkendali. Di tengah kekacauan ini, Seb yang berusaha
menyelamatkan diri ternyata tidak bisa berbuat banyak. Ruvik berhasil
menghentikan usaha Seb dan teman-teman, membuat mereka terpencar lebih
jauh. Mimpi buruk Seb belum berakhir, tetapi baru akan dimulai. Sebuah
misi investigasi, menjadi misi bertahan hidup.
|
Berhasil
selamat dari kecelakaan yang memisahkan karakter-karakter ini, Seb
justru jatuh ke dalam pusaran kejadian absurd yang mencekam. |
|
Apa yang sebenarnya tengah terjadi dengan Seb? Siapa pula sosok Ruvik ini? |
Lantas siapa sebenarnya Ruvik ini? Mengapa ia memiliki kekuatan yang
begitu besar? Ancaman seperti apa yang harus ditemui oleh Seb? Mampukah
ia bertemu dan menyelamatkan dua partnernya yang lain – Joseph dan
Julie? Apa yang sebenarnya terjadi dengan semesta yang harus dihadapi
oleh Seb ini? Semua jawaban dari misteri ini bisa Anda temukan dengan
memainkan The Evil Within ini.
Cita Rasa Survival Horror Klasik
|
The Evil Within akan mengembalikan semua alasan mengapa Anda jatuh hati dengan genre survival horror di masa lalu. |
The Evil Within adalah sebuah visi yang sudah lama didambakan oleh
Shinji Mikami, sebuah jawaban yang ingin ia tawarkan kepada industri
game tentang definisi sebuah game survival horror yang sebenarnya.
Sebuah konsep yang di dalam interview terbarunya, ia definisikan sebagai
genre yang secara konsisten menawarkan rasa cemas bagi para
penikmatnya, bahwa nyawa mereka selalu berada di ujung tanduk, bahwa
setiap konsekuensi berjalan fatal, di luar sensasi kontrol lewat senjata
yang tetap disuntikkan. Jika ini visi yang ingin dicapai oleh Mikami
untuk The Evil Within, maka ia harus diakui, berhasil. The Evil Within
adalah sebuah oase untuk gamer yang mendambakan sebuah game survival
horror berkualitas untuk waktu yang lama.
Sebagian besar dari Anda yang pernah menikmati segudang screenshot
dan trailer awal The Evil Within mungkin akan langsung
mengasosiasikannya dengan satu kata – Resident Evil 4. Sudut pandang
kamera yang hampir sama dengan atmosfer permainan yang cukup serupa
terutama lewat permainan setting yang ada memang kian menguatkan
asosiasi tersebut. Namun alih-alih Resident Evil 4, pengalaman yang
ditawarkan oleh The Evil Within justru menurut kami, lebih kuat pada
kombinasi antara dua nama game survival horror yang lain: Resident Evil
pertama dan The Last of Us dari Naughty Dog. Sensasi kedua game inilah
yang justru menurut kami mengalir lebih kentara, dan harus diakui,
menjadi formula sinergi yang sempurna untuk menciptakan sebuah game
survival horror yang menegangkan.
|
Walaupun
setting yang ia tawarkan lebih dekat ke cita rasa Resident Evil 4,
namun pengalaman yang ditawarkan The Evil Within terasa seperti
kombinasi antara seri Resident Evil pertama dari Mikami sendiri dan The
Last of Us dari Naughty Dog. |
|
Anda
tidak bisa berbuat seenak hati di sini. Resource bagi Anda untuk
melawan balik para The Haunted sangatlah terbatas, menjelma menjadi
sesuatu yang sangat berharga. |
Dari Resident Evil pertama, kita tidak hanya membicarakan salah satu adegan di The Evil Within yang dijadikan sebagai homage
untuk karya yang mengawali sepak terjang Shinji Mikami tersebut.
Bertahan dengan sensasi klasik sebuah game survival horror, The Evil
Within menjual dua konsep yang tereksekusi dengan sangat baik:
keterbatasan resource dan kerentanan Seb sebagai karakter utama. Dengan
peluru dan item yang tidak berbanding lurus dengan musuh yang harus Anda
hadapi, Anda tidak bisa asal mengarahkan moncong peluru ke setiap musuh
yang Anda temui dengan berharap bahwa semua masalah akan terselesaikan
lewat metode ini. Mengapa? Karena bisa jadi ancaman akan terus datang,
dan Anda tidak akan punya cara lagi alternatif untuk bertahan hidup.
Bermain pintar akan menjadi salah satu kunci esensial.
|
Tidak hanya resource yang terbatas, kesan survival horror juga mengalir kuat dari karakter Seb yang terlihat rapuh. |
|
Jika
pertarungan melawan beberapa Haunted saja sudah cukup menegangkan,
apalagi ketika melawan varian boss raksasa yang lebih tidak mengenal
ampun. Bersiaplah untuk termutilasi! |
Sensasi survival horror klasik ini juga diperkuat dari fakta bahwa
Seb adalah tokoh protagonis yang sangat rentan. Satu serangan dari jenis
Haunted biasa saja sudah cukup untuk menyita porsi bar health Anda
dalam jumlah besar, memaksa Anda untuk menggunakan item penyembuh yang
sama terbatasnya seperti peluru. Sayangnya, bukan para Haunted saja yang
harus Anda hadapi. Terbagi ke dalam beberapa chapter, The Evil Within
juga memuat beragam pertempuran melawan para Boss yang akan membuat Seb
jauh lebih lemah. Chainsaw-Man? Sang wanita berkaki enam yang melata?
Atau anjing raksasa yang memburu Anda? Sedikit saja lengah, maka Seb
akan berakhir menjadi mayat dingin di tengah lapangan, atau bahkan
hancur berantakan menjadi potongan daging yang tidak bisa lagi dikenali.
Shinji Mikami berhasil membuat setiap musuh yang hadir sebagai sebuah
ancaman yang memang pantas untuk diperhitungkan, bukan sesuatu yang bisa
Anda anggap remeh. Memastikan setiap peluru Anda efektif dan bermain
aman, inilah kunci memenangkan The Evil Within.
|
Stealth menjadi pendekatan minim resiko yang berfungsi sangat optimal. Mengesankan mekanik yang serupa dengan The Last of Us. |
|
Atau Anda selalu punya opsi untuk menjadikan api sebagai teman terbaik Anda. |
Dengan rasa cemas yang secara konsisten hadir, menjadi sesuatu yang
sangat rasional untuk menempuh cara penyelesaian strategis untuk
memperkecil resiko yang bisa terjadi. Di sinilah kami melihat pengaruh
The Last of Us yang cukup kentara. The Evil Within menyuntikkan
mekanisme stealth sebagai kompensasi dari terbatasnya peluru yang
ditawarkan. Dengan berjalan secara pelan sembari menunduk, Anda punya
kesempatan menghabisi para Haunted ini, terutama dari varian yang paling
lemah, secara instan tanpa perlu membuang-buang peluru dan menarik
perhatian Haunted yang lain. Metode lain yang bisa Anda gunakan adalah
dengan menggunakan korek api yang menjadi elemen unik The Evil Within
itu sendiri. Anda bisa menggunakannya untuk membakar mayat yang Anda
curigai bisa hidup kembali sebagai The Haunted atau bahkan
menggunakannya sebagai senjata “maut” untuk membunuh mereka dalam jumlah
besar. Membakar genangan minyak? Meledakkan drum? Atau sekedar
menjadikan mayat Haunted lain sebagai jebakan? Korek api menjadi
“senjata” kecil yang bisa dimanfaatkan secara strategis.
|
Anda
lihat musuh di sebelah kanan kami ini? Ia terus berlari menuju tembok
tanpa bisa menyesuaikan diri hanya karena kami berada di dekatnya. |
Namun sayangnya, ketakutan ini tidak lagi terasa mengancam setelah
Anda memahami bahwa seperti halnya zombie klasik di Resident Evil
pertama, para Haunted ini juga tidak cukup pintar dan lincah untuk
mengejar dan membunuh Anda. Dengan menggunakan mekanik berlari yang akan
menyita stamina Seb itu sendiri, Anda bisa menghindari sebagian besar
ancaman dengan cukup mudah dan para Haunted ini tidak akan punya
kesempatan mengejar Anda. Dengan teknik berlari dan tembak, selama Anda
punya resource yang cukup, hal ini akan menyelesaikan sebagian masalah
dengan cukup efektif, bahkan para Boss sekalipun. Parahnya lagi, kami
juga sempat menemukan AI yang bergerak terus-menerus melawan tembok
ketika Anda berada di posisi tertentu tanpa ada kemampuan untuk
menyesuaikan dirinya sendiri. Kemampuan untuk berlari lebih cepat ini
juga memberikan keuntungan tersendiri, apalagi jika Anda tengah terjebak
di sebuah area yang penuh dengan jebakan yang bisa diaktifkan secara
manual. Kesempatan untuk membunuh musuh yang ada secara instan tanpa
perlu mengorbankan resource apapun menjadi pekerjaan yang terasa lebih
mudah.
|
Terlepas
ancaman yang Anda hadapi, Anda selalu punya opsi untuk melarikan diri
dari mereka dan menyerang ketika ada kesempatan. Anda akan selalu
bergerak lebih cepat. |
|
Dengan kecepatan lebih tinggi ini, Anda jadi punya kesempatan untuk membuat para Haunted ini “memakan” perangkap mereka sendiri. |
|
Ditambah dengan semua varian senjata yang bisa Anda gunakan, tidak ada alasan untuk merasa takut. |
Tidak hanya lewat kemampuannya untuk berlari cepat, perasaan ancaman
ini juga akan semakin memudar lewat varian senjata yang akan dimiliki
oleh Seb seiring dengan progress cerita yang ada. Dari handgun dengan
damage rendah, shotgun untuk pertempuran jarak dekat, hingga sniper
rifle yang mampu menghantarkan damage besar jika dibutuhkan. Resource
peluru setiap senjata ini memang terbatas, namun akumulasi dari semua
peluru ini akan cukup untuk memberikan rasa aman yang dibutuhkan.
Apalagi Seb juga akan dipersenjatai dengan sebuah panah unik bernama
Agony Crossbow. Berbeda dengan senjata lain yang hadir seperti tipikal
senjata game action pada umumnya, Agony Crossbow hadir tampil dinamis
dan menawarkan variasi fungsi tertentu. Sesuai dengan anak panah yang
Anda sematkan, ia mampu membuat musuh meledak, keracunan, terbakar,
terdiam untuk beberapa saat, hingga membeku. Menariknya lagi? Anda bisa
meracik anak panah yang Anda butuhkan dengan hanya mengumpulkan jumlah
part yang cukup dari setiap aksi Anda membongkar perangkap yang Anda
temui di sepanjang perjalanan. Agony Crossbow menjadi jawaban sekaligus
penyelamat efektif ketika Anda berada di kondisi yang terdesak.
Setidaknya memastikan Anda memiliki kontrol atas situasi yang terjadi.
|
agony Crossbow – si panah yang bisa menghasilkan beragam efek sesuai dengan anak panah yang Anda sematkan. |
|
Lewat
part perangkap yang Anda kumpulkan, Anda bisa membangun anak panah yang
Anda inginkan dengan mengorbankannya dalam jumlah tertentu. |
Dengan semua mekanik ini, waluapun jauh dari kata sempurna, The Evil
Within mampu menawarkan sensasi game survival horror klasik yang memang
hidup sesuai dengan genre yang ia usung, dan bukan hanya sekedar “kedok”
untuk menjual game action yang mulai mainstream. Ada perasaan tegang
dan waspada yang secara konsisten hadir, apalagi jika Anda menyadari
bahwa resource yang Anda miliki tidak akan cukup untuk menghabisi
Haunted terlemah sekalipun. Dengan setting dan bentuk ancaman yang
berbeda dari satu chapter ke chapter lainnya, Anda akan bersinggungan
dengan sebuah perjalanan absurd yang sama sekali tidak terasa monoton,
apalagi lewat varian Boss yang Anda temui di sini. The Evil Within
mungkin tidak semenyeramkan P.T dengan ekstra kejutan di sana sini yang
mungkin membuat Anda berteriak seperti anak perempuan dan melemparkan
kontroler ke ujung ruangan, namun ia menawarkan sebuah pengalaman
menegangkan yang konsisten. Seperti yang Anda temui ketika mencicipi
seri Resident Evil pertama di masa lalu.
Cairan Hijau yang Menentukan
|
Masuk
ke dalam Asylum, sebuah tempat aman, Seb bisa memperkuat dirinya dengan
menggunakan cairan hijau yang ia kumpulkan di sepanjang perjalanan. |
Seb mungkin adalah seorang detektif veteran yang sudah bersinggungan
dengan dunia kriminal untuk waktu yang cukup lama. Namun dunia kriminal
tidak akan pernah berisikan mayat hidup dengan kawat duri di kepala,
iblis wanita berkaki enam yang lahir dari genangan darah, atau makhluk
besar dengan kepala kotak dan bersenjatakan palu besar. Dunia yang
tercabut dari realita ini menjadi sesuatu yang harus dihadapi Seb, yang
untungnya punya kesempatan untuk memperkuat dirinya sendiri. Semuanya
bergantung pada cairan hijau misterius yang bisa Anda temukan di
sepanjang mimpi buruk Anda ini.
Berpetualang di dunia super menyeramkan, Seb untungnya punya satu
ekstra “rumah” aman untuk melarikan diri dari pengalaman yang akan
membuat manusia manapun untuk mempertanyakan kewarasan mereka ini. Bisa
diakses lewat cermin yang merefleksikan cahaya terang yang unik dengan
musik halus yang mengalun menghipnotis, Seb bisa mengunjungi Asylum yang
dijaga oleh seorang suster bernama Tatiana. Tidak hanya sekedar sebagai
tempat untuk melakukan save data secara manual, Anda juga bisa
menghabiskan semua cairan hijau misterius yang Anda dapatkan di Asylum
ini. Tentu saja, untuk meningkatkan kemampuan Seb itu sendiri.
|
Ada
empat kategori utama yang bisa Anda perkuat, yang masing-masing elemen
di dalamnya juga terbagi atas beberapa level yang berbeda. |
|
Asylum
juga memuat rentetan locker berisikan resource yang kuncinya bisa Anda
dapatkan dengan mengeksplorasi setiap chapter yang Anda lalui. |
Terikat di sebuah kursi dan mengalami proses eksperimen yang terlihat
menyakitkan, cairan hijau ini berfungsi sebagai mata uang untuk
memperkuat Seb di beragam sektor yang ada. Terbagi menjadi empat bagian
besar: Abilities untuk meningkatkan status Seb seperti stamina atau
health, Weapons untuk meningkatan efektivitas senjata yang sudah
dimiliki sebelumnya, Stock untuk memperbanyak jumlah item yang bisa Anda
bawa, dan Agony Bolts untuk mengatur jumlah dan efektivitas panah dari
Agony Crossbow, Anda bisa meningkatkan setiap elemen yang Anda inginkan
jika berhasil mengumpulkan cairan hijau ini dalam jumlah tertentu.
Setiap elemen ini juga akan terbagi ke dalam beberapa level, yang setiap
levelnya tentu saja akan meningkatkan buff dari level sebelumnya, yang
harus dibayar dengan jumlah cairan hijau yang lebih mahal. Cairan hijau
ini sendiri tidak hanya bisa didapatkan dari eksplorasi, tetapi juga
dari beberapa Haunted yang berhasil Anda tundukkan sebelumnya. Ia akan
memfasilitasi dan mendukung gaya anda bermain yang unik.
Tidak hanya sebagai tempat upgrade untuk memperkuat Seb, Asylum juga
menyediakan rentetan locker terkunci yang masing-masing darinya
berisikan resource yang tentu saja sangat berharga di The Evil Within
ini. Kunci untuk membuka locker ini akan terbesar di setiap chapter yang
Anda temui, menunggu untuk ditemukan. Butuh ekstra usaha untuk
menjelajahi level yang Anda hadapi untuk mendapatkannya.
Beberapa Desain yang Dipertanyakan
|
Terlepas dari cita rasa survival horrornya yang kuat, ada beberapa desain dalam The Evil Within yang pantas dipertanyakan. |
Terlepas dari kemampuan Shinji Mikami menawarkan pengalaman yang
senantiasa mencekam dan menegangkan di The Evil Within lewat mekanik
utama yang pantas untuk diacungi jempol, ada beberapa masalah desain
yang cukup terlihat tidak rasional dan justru mengundang lebih banyak
tanda tanya bagi kami, sebagai gamer yang menikmatinya. Kelemahan desain
yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Salah satu catatan yang terbesar adalah keharusan untuk
mempertahankan dua baris garis hitam di bagian atas dan bawah layar Anda
tanpa ada kesempatan untuk menonaktifkannya. Walaupun diklaim
dihadirkan untuk menghasilkan sensasi yang jauh lebih sinematik, namun
kedua bar ini berarti membuat Anda harus berhadapan dengan resolusi
gameplay yang lebih kecil dibandingkan dengan game-game lainnya di
pasaran. Hasilnya? Anda punya ruang yang sangat terbatas untuk
memerhatikan apa yang sebenarnya tengah terjadi di sekitar Anda,
terutama semua bentuk ancaman yang berada di bawah pinggang Seb, apalagi
jika Anda bergerak cepat. Memang ada cara untuk menonaktifkannya di PC,
namun untuk versi Playstation 4 yang kami gunakan untuk review, opsi
tersebut nihil. Sangat mengganggu, dan sangat disayangkan.
|
Bar
hitam di bagian atas dan bawah game yang justru lebih banyak mengganggu
daripada menawarkan kesan sinematik yang didengungkan oleh Mikami. |
|
Berharap obor ini akan berfungsi seperti layaknya korek api raksasa? Nope. |
Desain yang lain adalah sensasi tidak konsistennya beberapa elemen
gameplay yang ditawarkan The Evil Within itu sendiri. Salah satu bukti
yang paling nyata adalah fungsi korek api yang esensial untuk membakar
para Haunted, misalnya. Jika sebatang korek api bisa membakar satu mayat
secara efesien dan memastikan mereka tidak kembali, bayangkan apa yang
bisa dilakukan oleh sebuah obor api yang menyala terang? Logikanya
adalah obor seharusnya bisa digunakan untuk membakar lebih banyak mayat,
setidaknya membantu Anda menghemat korek api yang terbatas. Tapi apa
yang terjadi? Anda tidak bisa melakukan hal itu di The Evil Within. Obor
hanya bisa digunakan sekali untuk membakar Haunted yang berdiri tegak
secara instan dan hancur seketika. Berniat menggunakannya sebagai
pengganti korek api? Lupakan. Hal yang sama juga terjadi dengan senjata
melee seperti kapak yang juga hanya bisa digunakan satu kali per musuh.
Desain yang tentu aneh dan terasa dibuat-buat.
Salah satu “cacat” desain lain yang sempat kami rasakan juga lahir
dari fakta bahwa Mikami terlihat terlalu tegas dengan konsep resource
The Evil Within yang terbatas, dan terkadang berakhir pada sebuah
pertempuran yang mustahil untuk diselesaikan. Seperti yang sempat
terjadi pada kami. Berhadapan dengan hampir lebih dari 20 Haunted yang
sudah berusaha ditindak dengan beragam cara yang menutut resource
sekecil mungkin, kami berhasil selamat dari tantangan yang satu ini
dengan jumlah peluru dan Agony Bolt yang terhitung sangat terbatas.
Dengan tidak ada lagi resource di sekitar yang bisa dikumpulkan, kami
berasumsi bahwa Mikami akan cukup “baik hati” untuk menyediakan resource
tersebut di area selanjutnya. Namun apa yang kami hadapi? Chainsaw-Man
di depan pintu yang harus ditundukkan sebelum bisa bergerak ke area
selanjutnya. Dengan akumulasi dari beragam senjata yang nyaris kosong
dan Agony Bolt juga bernasib sama, bagaimana caranya menundukkan ancaman
seperti ini ketika lari bukan opsi? Salah satu opsi paling rasional
adalah mengulang kembali chapter namun dengan pendekatan resource yang
berbeda. Kami sendiri berhasil menundukkanya lewat 3 lemparan granat
spekulatif yang mencederai sang musuh, setelah hampir belasan kali
mengulang.
|
Tidak punya lagi resource dan dipaksa bertarung melawan boss setelah menundukkan puluhan Haunted? What the.. |
|
Tewas
di sini? Anda dipaksa mengulang event non-cutscene yang tidak bisa
di-skip. Ditambah ekstra loading time tiap kali Anda mati? Buang-buang
waktu. |
Berita yang lebih buruk dari sekedar mati dan mengulang, beberapa
titik cerita bahkan memiliki titik checkpoint dengan event berbentuk
non-cutscene yang tidak bisa Anda lewati. Seperti ketika Anda bertemu
dengan si kepala besi di chapter 7 misalnya. Anda harus melewati animasi
pintu besar yang terbuka, animasi pertama kali bertemu dengan si kepala
besi di ujung ruangan, animasi kaki yang terperangkap, dan kemudian
terlibat aksi lari dari perangkap dengan kamera yang mengambil sudut
dari depan. Gagal? Tidak sengaja tewas? Anda harus melewati semua
animasi ini kembali, yang bisa memakan waktu sekitar 3-4 menit sendiri,
atau bahkan 5-6 menit jika Anda menghitung waktu loading yang kembali
berputar.
Kesimpulan
|
The
Evil Within menjadi sebuah proyek game survival horror yang pantas
untuk dinikmati, terutama jika Anda sudah lama mendambakan game yang
berkualitas tinggi dari genre ini. Resource terbatas, karakter utama
yang rapuh, atmosfer yang mencekam, dan cerita yang cukup memancing rasa
penasaran, The Evil Within muncul layaknya sebuah oase bagi para
penggemar Resident Evil dan Silent Hill klasik. |
Sebuah penantian yang terbayarkan dengan manis, ini mungkin kalimat
yang tepat untuk menggambarkan keseluruhan pengalaman yang ditawarkan
oleh The Evil Within ini sendiri. Sebagai proyek yang sejak
diperkenalkan diklaim akan mengusung cita rasa genre survival horror
klasik, Shinji Mikami tidak hanya sekedar menjual kata-kata, namun
membuktikan semua ucapannya lewat The Evil Within ini. Mencekam dengan
atmosfer permainan yang terbangun sangat baik, Anda akan berhadapan
dengan situasi yang selalu menegangkan, terutama lewat fakta bahwa Anda
tidak punya kebebasan untuk melawan balik sesuka hati Anda. Resource
yang terbatas dan fakta bahwa karakter utama Anda cukup rentan terhadap
serangan membuat rasa was-was yang senantiasa hadir, memastikan langkah
yang Anda tempuh berujung pada resiko seminim mungkin. Seperti genre
yang ia usung, The Evil Within memang menuntut Anda untuk bertahan
hidup.
Walaupun demikian, The Evil Within tentu saja tidak sesempurna yang
dibayangkan. Ada beberapa catatan yang sayangnya, cukup mencederai
pengalaman bermain yang ditawarkan – dari bar hitam yang tidak bisa
dihilangkan dari versi konsol, hingga AI musuh yang harus diakui tidak
cukup cerdas. Beberapa cacat desain lain seperti jumlah resource yang
tidak diperhitungkan, checkpoint yang jauh, hingga desain mekanik yang
terasa tidak sesuai juga menjadi sesuatu yang pantas diperhatikan. Ada
satu hal ekstra lain yang cukup disayangkan, yakni kepribadian sang
karakter utama – Sebastian Castellanos yang sangat dangkal dan tidak
menarik. Terlepas dari fakta bahwa ia harus berjuang di tengah gempuran
para “monster” absurd mematikan dan terlempar ke dunia cermin yang
misterius, Seb tidak melemparkan reaksi yang seharusnya dimunculkan oleh
manusia pada umumnya. Takut? Cemas? Tidak percaya? Seb terlalu
“anteng”.
Namun terlepas dari semua hal tersebut, The Evil Within menjadi
sebuah proyek game survival horror yang pantas untuk dinikmati, terutama
jika Anda sudah lama mendambakan game yang berkualitas tinggi dari
genre ini. Resource terbatas, karakter utama yang rapuh, atmosfer yang
mencekam, dan cerita yang cukup memancing rasa penasaran, The Evil
Within muncul layaknya sebuah oase bagi para penggemar Resident Evil dan
Silent Hill klasik.
Kelebihan
|
Holy Shit |
- Cerita yang cukup memancing rasa penasaran
- Resource yang terbatas
- Karakter utama yang terasa rapuh
- Kesempatan untuk memperkuat Seb
- Atmosfer yang mencekam
- Setiap chapter yang terasa unik, tidak monoton
- Desain Boss yang keren
Kekurangan
|
Seb jadi karakter utama yang harus diakui, terlalu “datar” dan tidak menarik. |
- Bar hitam untuk kesan sinematik yang tidak bisa diotak-atik
- Framerate tidak stabil
- Visualisasi yang tidak seberapa istimewa
- Checkpoint yang terkadang terlampau jauh
- Beberapa desain gameplay yang dipertanyakan
- Kepribadian karakter yang tidak terlalu menarik
Cocok untuk gamer: pecinta genre survival horror klasik, penikmat karya Mikami di masa lalu
Tidak cocok untuk gamer: yang mengharapkan game horror ala Resident Evil modern, yang menginginkan game dengan resource melimpah
sumber : http://jagatplay.com/2014/10/playstation3/review-the-evil-within-kenikmatan-survival-horror-klasik/2/
0 komentar :
Posting Komentar